Cyber Pesantren | Bayangkan Ramadan sebagai “boot camp” spiritual: sebulan latihan menahan lapar, haus, dan godaan untuk melotot ke orang yang makan bakso di depan kita. Tetapi di balik drama perut keroncongan, ada eksperimen sosial paling kocak sekaligus mengharukan: puasa mengajak kita merasakan jadi “aktor figuran” dalam film penderitaan orang lain.
Kalau biasanya kita cuma bisa bilang, “Kasihan ya, orang kelaparan,” sekarang kita bisa berakting method acting ala Hollywood—minus bayarannya. Ini laboratorium empati, di mana rasa lapar bukan sekadar uji kesabaran, tetapi uji kepedulian. Hasil eksperimennya? Dari yang tadinya pelit kayak kardus bekas, tiba-tiba jadi dermawan kayak raja bagi-bagi nasi kotak.
Lapar Itu Guru yang Cerewet
Puasa itu seperti guru olahraga yang teriak-teriak, “Ayo, 10 menit lagi! Jangan menyerah!” Bedanya, “guru” ini mengajari kita memahami orang kelaparan dengan cara yang… sedikit sadis. Saat pukul 15.00 perut mulai bernyanyi I Will Survive versi minor, baru kita ngeh,“Oh, ternyata jadi orang miskin itu full-time job tanpa gaji.”
Tetetapi manusia itu lucu. Kita rela berpuasa kurang lebih 14 jam, tetetapi marah-marah kalau GoFood telat 14 menit. Ironisnya, saat berbuka, kita balas dendam dengan makan seolah-olah besok kiamat. Menu bukanya? Kolak, gorengan, es campur, sampai nasi padang—seakan perut kita punya kapasitas dimensi lain. Padahal, Nabi saja cuma makan kurma dan air. Kalaupun kita ingin “menghormati sunnah,” paling tambah satu piscok.
Di sinilah kelucuan puasa muncul, kita pura-pura miskin sehari, tetetapi tetap sultan saat buka. Tetetapi justru di titik inilah empati mulai tumbuh. Saat lidah kita merasakan manisnya kurma, otak tiba-tiba nyeletuk: “Gimana ya rasanya jadi anak yatim yang cuma bisa lihat orang makan dari balik jendela?” Spoiler alert: Jawabannya biasanya, “Aduh, sedih banget. Yuk, kita berbagi!” sebelum kembali menyerbu meja makan.
Empati ala Kadarnya: Dari Hati ke Dompet
Puasa juga mengajarkan bahwa empati itu seperti bumbu soto—harus ada tindakan nyata. Di Indonesia, ini terwujud dalam tradisi unik: balas dendam sosial. Setelah seharian menahan diri, kita jadi superhero dadakan. Lihat saja para ibu-ibu yang tiba-tiba jadi “Robin Hood” di dapur: “Aduh, masak kebanyakan nih. Bungkusin untuk tetangga, ah!” Padahal, tetangga sebelah juga kebanyakan masak. Alhasil, terjadi pertukaran makanan antar-RT yang lebih ramai daripada pasar kaget.
Tetetapi jangan salah, ini bukan sekadar pamer masakan. Ada filosofi konyol sekaligus mulia di sini, “Kalau aku kenyang, kamu juga harus!” Mirip prinsip burger keju: semua lapisan harus dapat bagian. Bahkan, anak kost yang biasanya hidup dari mie instan, di Ramadan tiba-tiba jadi filantropis, “Nih, aku bagi satu takjil gratis. Tetetapi jangan minta WiFi-ku ya.”
“Empati Musiman”: Dari Raja Sedekah jadi Raja Kembali ke Mode Pelit
Sayangnya, laboratorium empati ini kadang menghasilkan “ilmuwan gagal.” Banyak yang berdonasi selama Ramadan seolah-olah sedang ikut game show: “Hadiahnya surga, nih! Ayo koleksi pahala!” Tetetapi begitu lebaran selesai, empati itu menguap seperti uap air panas di atas sate. Data Kementerian Sosial menyebut 60% orang Indonesia berdonasi cuma di Ramadan—seperti orang kasih kado valentine day, sekali setahun, habis itu lupa.
1 Komentar