Puasa Sebagai Revolusi Diri

Muhammad Lutfan Sofa
Muhammad Lutfan Sofa

 

 

Bacaan Lainnya

Cyber Pesantren | Puasa Ramadan seringkali dipahami sebagai ritual tahunan yang mewajibkan umat Islam menahan lapar, dahaga, dan hawa nafsu dari terbit fajar hingga terbenam matahari.

Namun, jika direnungkan lebih dalam, puasa bukan sekadar aktivitas fisik yang bersifat temporer.

Ia adalah revolusi diri sebuah gerakan pembebasan dari belenggu ego, kebiasaan buruk, dan pikiran negatif yang selama ini menguasai jiwa. Seperti revolusi yang menggulingkan rezim tiran, puasa menghadirkan momentum untuk memberontak terhadap “penguasa-penguasa” dalam diri yang menghambat pertumbuhan spiritual dan moral.

Dalam konteks ini, puasa menjadi medium transformasi: dari manusia yang dikendalikan nafsu, menjadi insan yang merdeka melalui disiplin, refleksi, dan pengendalian diri.

 

Puasa: Pemberontakan terhadap Rezim Ego 

Ego adalah “penguasa” pertama yang harus digulingkan dalam revolusi diri selama Ramadan. Ego, atau nafs, seringkali menjadi sumber kesombongan, keangkuhan, dan sikap individualistik. Ia membuat manusia merasa lebih tinggi dari orang lain, enggan mengakui kesalahan, dan terjebak dalam ilusi kontrol atas hidupnya.

Padahal, dalam perspektif spiritual, ego adalah musuh utama yang menghalangi hubungan manusia dengan Allah Swt dan sesama.

Puasa melucuti kekuatan ego dengan cara yang radikal: melalui rasa lapar. Lapar adalah pengingat bahwa manusia adalah makhluk lemah yang bergantung pada rahmat Allah Swt. Saat perut keroncongan, seseorang dihadapkan pada realitas bahwa tanpa makanan dan air yang sering dianggap remeh dirinya tak berdaya.

Proses ini memaksa ego untuk menundukkan kepala, mengakui keterbatasan, dan membuka ruang bagi kerendahan hati. Rasulullah Saw bersabda:

الصِّيَامُ جُنَّةٌ، فَلاَ يَرْفُثْ، وَلاَ يَجْهَلْ، وَإِنِ امْرُؤٌ قَاتَلَهُ أَوْ شَاتَمَهُ، فَلْيَقُلْ: إِنِّي صَائِمٌ مَرَّتَيْنِ

Puasa adalah perisai. Maka, janganlah seseorang berkata-kata kotor (rafats) atau bertindak bodoh (jahil). Jika ada orang yang mengajaknya berkelahi atau menghinanya, hendaklah dia mengucapkan: ‘Sungguh, aku sedang puasa’—dua kali. (HR. Bukhari)

Perisai ini bukan hanya melindungi dari dosa, tetapi juga menjadi tameng yang menghalau kesombongan. Dengan menahan diri dari makan dan minum, seseorang belajar untuk tidak selalu menuruti keinginan instan, melainkan mengutamakan kesabaran dan rasa syukur.

Loading

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *