Idulfitri dan Tradisi Baju Baru: Antara Ajaran Islam dan Budaya Masyarakat

Cyber Pesantren | Sebentar lagi, umat Islam di seluruh dunia akan merayakan Idulfitri, momen kemenangan setelah menjalani ibadah puasa selama satu bulan penuh. Hari yang penuh kebahagiaan ini sering diramaikan dengan berbagai tradisi, salah satunya adalah kebiasaan membeli pakaian baru.

Menjelang akhir Ramadan, pusat perbelanjaan dan pasar biasanya dipenuhi oleh masyarakat yang berburu pakaian baru, seolah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari perayaan Lebaran.

Bacaan Lainnya

Namun, apakah Islam benar-benar menganjurkan umatnya untuk membeli pakaian baru saat Idulfitri? Ataukah ini sekadar tradisi yang berkembang dalam masyarakat?

Sejarah Tradisi Mengenakan Pakaian Baru

Jauh sebelum Islam masuk ke Nusantara, masyarakat Indonesia sudah mengenal kebiasaan mengenakan pakaian baru dalam berbagai ritual adat dan keagamaan.

Dalam budaya Jawa, misalnya, pakaian baru sering dipakai dalam acara selamatan sebagai simbol keberkahan dan penghormatan. Begitu pula dalam tradisi Melayu, mengenakan pakaian terbaik di hari-hari besar mencerminkan rasa syukur serta menjaga kesucian diri.

Ketika Islam berkembang di Nusantara, tradisi ini kemudian berpadu dengan ajaran agama. Islam yang mengajarkan pentingnya kebersihan dan kerapian semakin memperkuat kebiasaan mengenakan pakaian terbaik saat Idulfitri.

Seiring waktu, kebiasaan ini berkembang menjadi anggapan bahwa Lebaran harus dirayakan dengan baju baru, meskipun sebenarnya Islam tidak pernah mewajibkannya.

Pandangan Islam terhadap Pakaian di Hari Raya

Islam tidak mewajibkan umatnya untuk membeli pakaian baru saat Idulfitri. Yang dianjurkan adalah mengenakan pakaian terbaik dan bersih, baik baru maupun lama, selama masih layak dikenakan dan menutup aurat. Rasulullah ﷺ sendiri tidak pernah mewajibkan umatnya membeli pakaian baru, tetapi beliau selalu memilih mengenakan pakaian terbaik di hari raya.

Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, diriwayatkan:

كَانَ يَلْبَسُ أَحْسَنَ ثِيَابِهِ فِي الْعِيدَيْنِ

Artinya: “Beliau (Rasulullah ﷺ) biasa mengenakan pakaian terbaiknya pada dua hari raya.”
(HR. Ibnu Abi Dunya, dalam Kitab Al-Libas, disebutkan juga dalam Fathul Bari karya Ibnu Hajar)

Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu juga meriwayatkan:

رَسُولُ اللَّهِ ﷺ كَانَ لَهُ جُبَّةٌ يَلْبَسُهَا فِي الْعِيدَيْنِ وَيَوْمِ الْجُمُعَةِ

Artinya: “Rasulullah ﷺ memiliki jubah khusus yang beliau pakai pada hari raya dan hari Jumat.”
(HR. Ibnu Khuzaimah, no. 1765)

Selain itu, hadis dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma menegaskan:

إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ

Artinya: “Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan.”
(HR. Muslim, no. 91)

Dari berbagai riwayat tersebut, jelas bahwa Islam lebih menitikberatkan pada kebersihan dan kerapian daripada kewajiban memakai pakaian baru. Selama pakaian yang dikenakan pantas, bersih, dan menutup aurat, sudah cukup untuk memenuhi sunnah Rasulullah ﷺ di hari raya.

 

Dampak Sosial dan Ekonomi dari Budaya Konsumtif

Meski tidak diwajibkan dalam Islam, anggapan bahwa Lebaran harus dirayakan dengan serba baru dapat membawa dampak sosial dan ekonomi yang signifikan.

Loading

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *