Filosofi Kurma: Dari Kesederhanaan Menuju Kelimpahan

Surismi Nada Puspa _ Ka. Prodi PGMI STIT MI
Surismi Nada Puspa _ Ka. Prodi PGMI STIT MI

 

Cyber Pesantren | Bulan Ramadan telah tiba, bulan di mana umat Islam menjalani puasa dari terbit fajar hingga terbenam matahari. Ini juga bulan di mana berbagai makanan eksotis mendadak jadi selebritas, dari kolak pisang sampai es buah warna-warni yang lebih meriah daripada karnaval.

Namun, di antara semua hidangan mewah itu, ada satu makanan yang tetap sederhana, tanpa drama, dan selalu hadir sebagai pembuka: kurma. Seperti tokoh pendiam dalam film yang ternyata adalah pahlawan utama, kurma memiliki filosofi mendalam yang mencerminkan kesederhanaan, ketahanan, dan nilai spiritual dalam Islam.

 

Kesederhanaan Kurma: Kecil tetapi Bermakna

Mari kita mulai dengan kesederhanaan. Kurma bukanlah makanan yang mencolok. Bentuknya kecil, warnanya cokelat, dan tampilannya mungkin tidak akan masuk standar Instagramable. Tetapi di balik kesederhanaannya, kurma punya segudang manfaat.

Ia kaya akan energi, penuh serat, dan memberikan dorongan gula alami yang dibutuhkan setelah seharian berpuasa. Dengan kata lain, ia seperti sahabat setia yang selalu ada saat kita butuh, tidak seperti teman yang hanya muncul kalau kita punya tiket konser gratis.

Rasulullah Saw sendiri menganjurkan berbuka dengan kurma, bukan dengan makanan mewah yang harus antre tiga jam di restoran viral. Ini mengajarkan kita bahwa berbuka puasa bukan tentang memanjakan perut, tetapi tentang memenuhi kebutuhan dasar dengan bijak.

 

Kurma sebagai Simbol Ketahanan

Selain kesederhanaan, kurma juga simbol ketahanan. Pohon kurma tumbuh di gurun, di tengah kondisi yang sulit, di mana tanaman lain mungkin sudah angkat tangan dan menyerah.

Tetapi tidak dengan kurma. Ia bertahan, tumbuh, dan memberikan buah yang manis meski hidup dalam keterbatasan. Ini seperti pesan moral bagi kita yang sering mengeluh ketika WiFi lambat atau AC kamar tidak cukup dingin. Kurma mengajarkan bahwa ketahanan adalah kunci kehidupan.

Dalam konteks puasa, ketahanan ini menjadi lebih bermakna. Seharian kita menahan lapar, haus, dan keinginan untuk scroll media sosial tanpa henti.

Tetapi dengan ketahanan yang tepat, kita bisa sampai di waktu maghrib dengan penuh kemenangan, bukan dengan ekspresi dramatis ala sinetron yang tersungkur di sofa menunggu azan.

 

Nilai Spiritual dalam Kurma

Lebih dalam lagi, kurma juga mengandung nilai spiritual yang mendalam. Dalam Islam, berbuka dengan kurma bukan sekadar tradisi, tetapi juga bentuk pengingat akan keberkahan dan kesyukuran.

Setiap gigitan kurma adalah simbol dari kebersahajaan, bahwa nikmat Allah Swt itu bisa sesederhana sebutir buah kecil yang tumbuh di tengah panasnya gurun. Kurma juga sering disebut dalam Al-Qur’an dan hadits sebagai makanan yang penuh berkah.

Bahkan, saat Maryam melahirkan Nabi Isa AS, ia diperintahkan untuk menggoyang pohon kurma agar mendapatkan makanan yang bisa menguatkannya. Ini membuktikan bahwa kurma bukan sekadar camilan, tetapi juga simbol kasih sayang Allah Swt yang selalu hadir dalam setiap kondisi, baik senang maupun sulit.

 

Ironi Ramadan: Dari Kesederhanaan ke Pesta Kuliner

Namun, ironisnya, meski kurma adalah simbol kesederhanaan, bulan Ramadan justru sering menjadi ajang pesta kuliner besar-besaran. Saat matahari terbenam, meja makan mendadak berubah menjadi medan perang makanan. Hidangan dari ujung meja ke ujung lainnya bisa mengalahkan buffet hotel bintang lima.

Padahal, kalau dipikir-pikir, tujuan utama puasa adalah menahan diri, bukan balas dendam atas rasa lapar yang ditahan seharian. Sering kali, setelah berbuka, banyak yang justru kewalahan sendiri, terkapar kekenyangan sambil meratapi keputusan makan berlebihan.

Di sinilah kurma kembali mengingatkan kita bahwa berbuka tidak harus berlebihan. Satu-dua butir kurma dan seteguk air sudah cukup untuk mengembalikan energi sebelum shalat dan melanjutkan ibadah.

 

Kurma dan Kelimpahan yang Sesungguhnya

Lebih dari itu, kurma juga bisa menjadi simbol kelimpahan yang sebenarnya. Bukan kelimpahan dalam arti makanan yang berlimpah-ruah, tetapi kelimpahan dalam bentuk keberkahan, kesehatan, dan kebersamaan.

Sering kali, Ramadan menjadi momen di mana keluarga berkumpul, teman-teman berbagi makanan, dan semangat gotong royong lebih terasa. Dalam situasi ini, kelimpahan bukan lagi tentang seberapa banyak makanan yang ada di meja, tetapi tentang seberapa banyak kebahagiaan dan rasa syukur yang kita rasakan.

Kurma, dengan segala kesederhanaannya, mengajarkan bahwa kelimpahan tidak selalu datang dari sesuatu yang besar dan mencolok, tetapi dari hal-hal kecil yang penuh makna.

Jadi, di bulan Ramadan ini, mari kita belajar dari filosofi kurma. Kesederhanaannya mengajarkan kita untuk tidak berlebihan, ketahanannya mengingatkan kita untuk tetap kuat menghadapi tantangan, dan nilai spiritualnya mengajak kita untuk lebih bersyukur.

Saat berbuka nanti, ketika tanganmu sudah siap mengambil kurma pertama, ingatlah: ini bukan sekadar camilan manis, tetapi juga pengingat akan makna Ramadan yang sesungguhnya.

Dan kalau ada yang masih ingin berdebat bahwa berbuka lebih enak dengan gorengan, silakan, tetapi jangan salahkan siapa-siapa kalau setelah itu Anda sibuk cari obat maag!

 

Kontributor: Surismi Nada Puspa, M.Pd.I., Ka. Prodi PGMI STIT Makrifatul Ilmi bengkulu Selatan

Loading

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *