Cyber Pesantren | Kering sudah airmataku, setelah sekian lama kubiarkan ia mengalir tanpa henti. Tangis yang dulu menjadi bahasa kesedihan kini tak lagi memiliki suara. Aku telah letih meratap, membiarkan luka menggenggam erat, seakan-akan aku tak punya kuasa untuk melepaskannya. Namun waktu mengajarkanku, bahwa air mata tak selalu menjadi jawaban bagi perih yang menggores jiwa.
Di sudut sunyi, aku sering bertanya, mengapa harus aku yang menanggung semua ini? Mengapa takdir seakan begitu kejam, membiarkan duka bersemayam lebih lama dari yang seharusnya? Tapi kini aku mulai mengerti, bahwa segala sesuatu ada masanya. Kesedihan pun memiliki batasnya, dan aku tak bisa terus-menerus tenggelam dalam gelombangnya.
Malam-malam panjang yang kulewati tak lagi berselimutkan isak. Aku belajar membiarkan hati bernapas, membiarkan luka mengering tanpa terus-menerus mengungkitnya. Aku bukan lagi seseorang yang meratap dalam diam, melainkan seseorang yang mulai memahami bahwa kehilangan bukan akhir dari segalanya. Kehidupan terus berputar, meski langkah terasa berat untuk melangkah.
Bukan berarti aku lupa, bukan pula karena aku tak peduli. Namun ada saatnya aku harus berdiri, merangkul kenyataan tanpa harus tenggelam dalam air mata yang sia-sia. Setiap perih yang pernah singgah, kini berubah menjadi jejak yang mengajarkan ketegaran. Aku belajar bahwa tidak semua luka harus diobati dengan tangisan, terkadang, diam pun bisa menjadi penawar terbaik.
Aku pernah mengira bahwa kesedihan ini akan selamanya tinggal, bahwa luka ini tak akan pernah pulih. Namun, perlahan waktu membuktikan bahwa segalanya bisa berubah. Aku bukan lagi seseorang yang menunggu keajaiban untuk menghapus pedih, aku adalah seseorang yang menciptakan kekuatanku sendiri. Bukan dengan menangis, tapi dengan menerima.
Kering sudah airmataku, bukan karena aku tak mampu menangis lagi, melainkan karena hatiku telah cukup kuat untuk menerima. Aku tak ingin terus terjebak dalam kesedihan yang tak berujung. Luka ini boleh ada, namun aku tak akan membiarkannya menguasaiku. Aku memilih untuk melangkah, walau jalan masih samar, walau hati masih meraba dalam gelap.
Aku tahu bahwa kehidupan tak selalu adil, dan luka tak selalu mudah dilupakan. Tapi aku juga tahu bahwa aku lebih kuat dari yang kupikirkan. Jika aku bisa bertahan hingga hari ini, maka aku pasti bisa melangkah lebih jauh. Bukan untuk melupakan, tapi untuk berdamai dengan masa lalu. Bukan untuk menghapus luka, tapi untuk menjadikannya bagian dari perjalanan yang harus kujalani.
Kini, aku berdiri di batas antara masa lalu dan masa depan. Aku tak akan menghapus apa yang telah terjadi, tapi aku juga tak akan membiarkannya membelengguku. Dengan langkah yang masih tertatih, aku akan terus berjalan. Tak lagi bertanya mengapa, tak lagi meratapi yang telah tiada. Sebab kering sudah airmataku, dan aku siap menyambut hari yang baru.
By: Redaksi
1 Komentar