Cyber Pesantren | Puasa Ramadan sering kali dimaknai sebagai menahan diri dari makan, minum, dan hubungan intim dari fajar hingga senja. Namun, esensi puasa yang sesungguhnya jauh lebih dalam. Dalam hadis riwayat Bukhari, Rasulullah SAW bersabda:
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan dusta dan perbuatan sia-sia, maka Allah tidak butuh ia meninggalkan makan dan minumnya. (H. R. Bukhari)
Pernyataan ini mengisyaratkan bahwa puasa bukan sekadar ritual fisik, tetapi transformasi holistik yang melibatkan pengendalian indera dan emosi.
Dalam konteks modern, konsep ini selaras dengan sains tentang regulasi diri, neuroplastisitas, dan kesehatan mental. Tulisan ini akan mengupas bagaimana puasa multisensor—menahan telinga, mata, dan hati—menjadi jalan untuk mencapai keseimbangan jiwa-raga, didukung oleh analisis ilmiah.
Telinga: Menjaga Ucapan dan Mendengar yang Baik
Puasa lisan adalah salah satu dimensi yang kerap diabaikan. Dalam Islam, menahan diri dari ghibah (bergosip), fitnah, atau kata-kata kasar dianggap sebagai bagian integral dari ibadah puasa. Secara ilmiah, praktik ini berkaitan dengan kontrol impuls dan manajemen stres.
Studi dalam Journal of Experimental Social Psychology (2017) menunjukkan bahwa ucapan negatif meningkatkan kadar kortisol (hormon stres) pada pembicara dan pendengar. Dengan menahan lidah, seseorang tidak hanya melatih disiplin verbal, tetapi juga menciptakan lingkungan sosial yang lebih harmonis.
Selain itu, menahan telinga dari mendengar hal negatif juga penting. Penelitian di Frontiers in Neuroscience (2019) menjelaskan bahwa otak memproses informasi auditori secara emosional melalui sistem limbik.
Mendengar kata-kata kasar atau gosip mengaktifkan amigdala, area otak yang terkait dengan respons “fight or flight”. Puasa auditori membantu mengurangi stimulasi negatif ini, menciptakan ketenangan mental.
Mata: Menundukkan Pandangan dari yang Haram
Allah Swt berfirman dalam Q.S. An-Nur ayat 30-31, yaitu:
قُلْ لِّـلۡمُؤۡمِنِيۡنَ يَغُـضُّوۡا مِنۡ اَبۡصَارِهِمۡ وَيَحۡفَظُوۡا فُرُوۡجَهُمۡ ؕ ذٰ لِكَ اَزۡكٰى لَهُمۡ ؕ اِنَّ اللّٰهَ خَبِيۡرٌۢ بِمَا يَصۡنَـعُوۡنَ.وَقُلْ لِّـلۡمُؤۡمِنٰتِ يَغۡضُضۡنَ مِنۡ اَبۡصَارِهِنَّ وَيَحۡفَظۡنَ فُرُوۡجَهُنَّ وَلَا يُبۡدِيۡنَ زِيۡنَتَهُنَّ اِلَّا مَا ظَهَرَ مِنۡهَا تُفۡلِحُوۡنَ.
Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat.
Ayat di atas memerintahkan laki-laki dan perempuan untuk “menjaga pandangan”. Larangan ini bukan sekadar aturan moral, tetapi memiliki dasar neurosains. Mata adalah pintu masuk utama informasi visual ke otak—sekitar 80% informasi diproses secara visual (MIT, 2014).
Saat seseorang melihat sesuatu yang memicu nafsu atau distraksi (misalnya konten vulgar atau konsumtif), dopamin dilepaskan sebagai respons terhadap rangsangan tersebut.
Menurut penelitian di Nature Communications (2020), paparan visual yang repetitif terhadap stimulan semacam itu dapat membentuk kebiasaan adiktif, mirip dengan kecanduan gula atau nikotin.
Dengan menundukkan pandangan, puasa visual mengaktifkan sistem prefrontal cortex (PFC), area otak yang bertanggung jawab atas pengambilan keputusan rasional dan kontrol diri.
Studi fMRI oleh Universitas Zurich (2018) membuktikan bahwa latihan menahan pandangan meningkatkan konektivitas PFC dengan korteks insular, area yang terlibat dalam kesadaran diri. Ini berarti, puasa mata tidak hanya mencegah distraksi, tetapi juga meningkatkan kemampuan refleksi diri.
Hati: Mengelola Emosi dan Niat
Puasa hati adalah level tertinggi dari ibadah ini. Rasulullah Saw menekankan pentingnya “puasa batin” dengan menghindari iri, dengki, dan amarah. Dari perspektif psikologi, emosi negatif seperti marah atau dendam berkaitan dengan aktivasi sistem saraf simpatik yang meningkatkan detak jantung dan tekanan darah.
Sebaliknya, puasa emosional melatih regulasi afektif melalui mekanisme cognitive reappraisal—mengubah interpretasi terhadap situasi untuk mengurangi dampak emosional.