Menelusuri Sejarah Tradisi Nagham Al-Qur’an

1433 views

Membaca Al-Qur’an dengan suara merdu dan berirama yang dalam istilah lainnya juga dikenal dengan taghanni atau tilawah bukanlah hal yang baru dalam sejarah Islam. Pada zaman Rasulullah SAW, kegiatan semacam itu sudah dilakukan. Bahkan, dalam sebuah riwayat disebutkan, Allah SWT menyukai orang- orang yang membaguskan suaranya ketika membaca Al-Qur’an.

 “Tidaklah Allah mendengarkan sesuatu sebagaimana Dia mendengarkan Nabi-Nya membaguskan bacaan Al-Qur’an dan mengeraskan suaranya.” (HR Bukhari 7544, Muslim 792). Riwayat lain menyebutkan, “Bukan golongan kami, orang yang tidak taghanni dalam membaca Al-Qur’an.” (HR Bukhari 350).

 Dalam kamus bahasa Arab, taghanni berarti bernyanyi dengan suara merdu.Dengan begitu, istilah tersebut dapat pula dimaknai dengan mengeraskan dan membaguskan suara bacaan Al-Qur’an secara khusyuk.

Meskipun taghanni kerap diartikan dengan membaguskan suara bacaan Al-Qur’an, namun kalangan ulama berbeda pendapat dalam mejelaskan makna kata tersebut. Beberapa dari mereka mengatakan, taghanni sama maknanya dengan tartil yang berarti membaca Al-Qur’an secara perlahan dan tanpa tergesa-gesa.

 Sebagian ulama lainnya berpendapat, taghanni tidak sekadar diartikan membaca Al-Qur’an secara tartil, tetapi juga dengan mengamati aturan tajwid dan mempercantik suara bacaan.Sementara, ada pula ulama yang menyatakan bahwa taghanni berarti membaca Al-Qur’an dengan hati yang senang.

 “Kendati berbeda pendapat mengenai arti kata taghanni, namun semua ulama sepakat bahwa membaca Al-Qur’an dengan suara yang indah merupakan amalan yang dianjurkan,” ujar pakar Islam asal Turki, Mehmet Paksu, dalam ulasannya, Reciting the Qoran with Taghanni.

 Imam Nawawi menuturkan, semua ulama sepakat bahwa memperindah suara dalam membaca Al-Qur’an diperbolehkan dalam batas-batas tertentu. Jika batas-batas tersebut dilanggar (seperti mengabaikan tajwid, menambahkan atau mengurangi satu huruf) maka bacaan seperti itu menjadi haram hukumnya.

Kapan penerapan irama dan lagu dalam bacaan Al-Qur’an mulai dilakukan, tidak diketahui secara pasti. Akan tetapi, sejarah mencatat bahwa orang yang pertama kali menyenandungkan Al-Qur’an dengan irama yang indah adalah Rasulullah SAW sendiri. Abdullah bin Mughaffal pernah mengilustrsikan kemerduan suara Nabi ketika melantunkan surah al-Fath mampu membuat unta yang beliau tunggangi menjadi terperanjat.

 Ketika Rasulullah SAW masih hidup pun, banyak qari atau pembaca Al-Qur’an yang mahir di bidangnya. Di antaranya adalah Abdullah ibnu Mas’ud RA dan Abu Musa al-Asy’ari RA. Dalam sebuah riwayat dikisahkan, Rasulullah SAW pernah lewat ketika Abu Musa sedang membaca Al-Qur’an. Nabi pun berhenti untuk mendengarkan bacaan sahabatnya itu. Beliau lalu bersabda, “Sungguh ia (Abu Musa) telah diberi keindahan suara sebagaimana keindahan suara keturunan Nabi Daud.” (HR Bukhari 5048, Muslim 793).

 Beberapa waktu setelah itu, ketika Abu Musa datang kepada Rasulullah, Nabi pun mengabarkan kepadanya bahwa beliau telah men dengarkan bagusnya bacaan Abu Musa. Abu Musa lalu berkata, “Andai aku tahu engkau sedang mendengarkannya, tentu aku akan benar-benar memperindah bacaanku.”

 Rasulullah SAW tidak mengingkari pernyataan sahabatnya tersebut. Ini menunjukkan bahwa memperindah bacaan Al-Qur’an adalah hal yang dianjurkan supaya dapat menghasilkan kekhusyukan bagi pembaca dan pendengarnya.

Pengaruh

 M Husni Thamrin dalam tesisnya, Nagham Al-Qur’an: Telaah atas Kemunculan dan Perkembangannya di Indonesia, menuturkan, kesenian masyarakat Arab pra-Islam memiliki pengaruh yang kuat dalam seni tilawah Al-Qur’an. Seni suara yang dalam tradisi Arab disebut handasah al-shaut diadopsi dalam bacaan Al-Qur’an secara berkesinambungan dari generasi ke generasi.

 Sebelum Nabi Muhammad SAW lahir, orang-orang Arab sudah mengenal kesenian musik dan syair (sastra) yang diwarisi dari nenek moyang mereka. Tradisi tersebut terus berlanjut ketika Rasulullah menyampaikan misi risalahnya di tengah-tengah masyarakat Arab.

 Mereka yang jatuh cinta kepada Islam lalu mengaplikasikan handasah al-shaut dalam bacaan Al-Qur’an. Dengan kata lain, dalam konteks ini telah terjadi Islamisasi terhadap seni suara yang dipraktikkan oleh orang-orang Arab sejak era pra-Islam. Hal ini dianggap sebagai cikal bakal perkembangan nagham-nagham (lagu) Al-Qur’an pada era selanjutnya.

 “Syair-syair Arab yang pada awalnya berisi tentang kisah kehidupan, berganti menjadi syair pujian dan shalawat, yang pada akhirnya menempatkan Al-Qur’an berada di lapisan teratas dalam piramida tradisi handasah al-shaut pada masa Islam,” ungkap M Husni Thamrin dalam tesisnya, Nagham Al-Qur’an: Telaah atas Kemunculan dan Perkembangannya di Indonesia.

Transformasi

 Penerapan nagham sebagai unsur estetika dalam bacaan Al-Qur’an sudah tumbuh sejak periode awal Islam. Kendati demikian, sulit untuk melacak seperti apa proses perkembangan nagham tersebut hingga memunculkan berbagai bentuk variannya seperti yang kita dapati hari ini. Hal itu disebabkan tidak adanya bukti yang dapat dikaji.

 Ibnu Manzur, seperti dinukilkan oleh Dr Basyar Awad Ma’ruf, al-Bayan fi Hukm at-Taghanni bi Al-Qur’an, ada dua teori tentang asal mula munculnya nagham Al-Qur’an. Pertama, nagham Al-Qur’an berasal dari nyanyian nenek moyang bangsa Arab. Kedua, nagham terinspirasi dari nyanyian budak-budak kafir yang menjadi tawanan perang. Kedua teori tersebut menegaskan bahwa lagu-lagu Al-Qur’an pada mulanya memang berasal dari khazanah tradisional Arab.

 Tidak ada catatan sejarah yang menjelaskan perkembangan nagham Al-Qur’an setelah era tabi’in. Namun, kalangan akademisi Islam meyakini bahwa, transformasi seni baca Al-Qur’an berlangsung secara sederhana dan diwariskan turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya.

 “Beberapa metode yang digunakan dalam mewariskan ilmu nagham Al-Qur’an dari masa ke masa adalah sima’i (mendengar), talaqqi (menerima dan mengambil pelajaran lewat bimbingan seorang guru), dan musyahafah,” ungkap Ketua Lembaga Pengembangan Tilawatil Quran (LPTQ) Jawa Timur Abdul Hamid Abdulloh, dalam karya tulis Makna dan Tujuan MTQ.

 Hari ini, para qari di dunia sudah tidak asing lagi dengan “delapan maqamat quraniyyah” atau juga biasa dikenal dengan “delapan nagham Al-Qur’an”.

 Kedelapan varian nagham tersebut ialah Bayyati (Husaini), Sika, Shoba (Maya), Rasta alan nawa, Hijazi (Hijaz), Jiharkah, Nahawand (Iraqi), dan Banjaka (Rakbi).

 “Hampir setiap qari di seluruh dunia selalu menggunakan satu dari de lapan nagham tersebut ketika membaca Al-Qur’an,” tutur pengamat seni Al-Qur’an yang kini berdomisili di Qatar, Mochamad Ihsan Ufiq, dalam artikel “Nama-Nama Lagu/Irama Seni Tilawatil Quran”.

Bila ditelusuri dari definisinya, ilmu nagham berbeda dengan ilmu qiraah. Jika ilmu nagham dikhususkan un tuk mempelajari seni irama dan lagu-lagu Al-Qur’an maka ilmu qiraah lebih difokuskan kepada cara membaca Al quran dengan benar dan tepat. Meski ber beda definisi, dalam praktiknya, ilmu nagham tidak boleh menyalahi ilmu qiraah.

 Ulama Muslim kontemporer, Muhammad Musthafa al-A’zami, memandang bahwa antara teks Al-Qur’an, proses pembacaannya, serta pewahyuannya adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Menurutnya, ilmu qiraah yang benar diperkenalkan oleh Nabi Muhammad SAW sendiri, yakni suatu praktik (sunah) yang menunjukkan tata cara bacaan setiap ayat. Aspek ini juga berkaitan erat dengan kewahyuan Al-Qur’an.

 “Oleh karena itu, antara teks dan cara pengucapan Al-Qur’an haram untuk bercerai,” tulis al-A’zami dalam buku The History of The Quranic Text From Revelation to The Compilation: A Comparative Studi with The Old and New Testaments.

 Hingga abad ke-20, Mesir telah menjadi inspirasi dan merupakan pusat lahir dan berkembangnya budaya maqamat Al-Qur’an yang penuh harmoni.Di samping itu, negeri piramida itu juga menempatkan dirinya sebagai saringan yang memisahkan antara musik dan qiraah maqamat nagham Al-Qur’an.

“Qari-qari yang lahir di Mesir, seperti Syekh Muhammad Rif’at (1882- 1950), Syekh Mustafa Ismail (1905-1978), dan Syekh Abdul Basit Abdul-Samad (1927-1988) mampu menunjukkan kepada dunia bahwa nagham adalah nyawa dari bacaan Al-Qur’an ” ungkap M Husni Thamrin dalam tesisnya, Nagham Al-Qur’an: Telaah atas Kemunculan dan Perkembangannya di Indonesia.  Oleh Ahmad Islamy Jamil ed: Nashih Nashrullah

Ragam-Ragam Nagham Al-Qur’an

Oleh Ahmad Islamy Jamil

Seni baca Al-Qur’an baru menampakkan geliatnya pada awal abad ke-20 yang berpusat di Makkah dan Madinah, serta di Indonesia sebagai negeri berpenduduk mayoritas Muslim yang sangat aktif mentransfer ilmu-ilmu agama (termasuk nagham) sejak awal 19 M.

 Hingga hari ini, Makkah dan Mesir merupakan kiblat nagham dunia. Masing-masing kiblat memiliki karakteristik tersendiri. Dalam tradisi Makkawi (Makkah)

 dikenal lagu Banjakah, Hijaz, Maya, Rakby, Jiharkah, Sika, dan Dukkah.Sementara, dalam tradisi Misri (Mesir) terdapat Bayyati, Hijaz, Shobah, Rashd, Jiharkah, Sika, dan Nahawand.

  1. Bayyati

Setiap bentuk susunan lagu tilawah Al-Qur’an, terutama yang bersifat formal, selalu diawali dan diakhiri dengan irama Bayyati. Lagu Bayyati penutup terdiri dari dua bentuk dan dua tingkatan suara, yaitu Jawab dan Jawabul Jawab.

  1. Shobah (Maya)

Lagu Shobah terdiri dari lima bentuk dengan tiga variasi, yaitu Ajami, Mahur, dan Bastanjar. Sementara, untuk tingkatan suaranya ada dua, yakni Jawab dan Jawabul Jawab.

  1. Hijazi (Hijaz)

Lagu ini terdiri dari tujuh bentuk dan empat variasi, yaitu Kard, Kard- Kurd, Naqrisy, dan Kurd. Sementara, bentuk tingkatan suaranya ada tiga, yakni Jawab, Jawabul Jawab, dan Qarar.

  1. Nahawand (Iraqi)

Lagu Nahawand terdiri dari lima bentuk dan dua selingan, yaitu Nuqrasy dan Murakkab. Ciri-ciri variasi Nuqrasy adalah bernada rendah (turun) sedangkan variasi Murakkab bernada tinggi (naik).Adapun tingkat suara Nahawand ada dua, yakni Jawab dan Jawabul Jawab.

  1. Sika

Lagu Sika terdiri dari enam bentuk dan empat variasi, yaitu Misri, Turki, Raml, dan Uraq. Sementara, tingkatan suaranya ada tiga, yakni Qarar, Jawab, dan Jawabul Jawab.

  1. Rast dan Rasta ‘alan Nawa

Lagu Rast dan Rasta ‘alan Nawa selalu berhubungan satu sama lainnya. Jika bacaan dimulai dengan lagu Rast maka mesti dilanjutkan (disambung) dengan Rasta ‘alan Nawa. Jenis lagu ini terdiri dari tujuh bentuk dan tiga variasi, yaitu Usyaq, Zanjiran, dan Syabir ‘ala ar- Ras. Sementara, tingkat suaranya ada dua, yakni Jawab dan Jawabul Jawab.

  1. Jiharkah

Lagu Jiharkah terdiri dari empat bentuk dan satu variasi, yaitu Kurdi. Sementara, tingkatan suaranya ada dua, yaitu Jawab dan Jawabul Jawab.

  1. Banjaka

Lagu Banjaka/Rakbi dikhususkan untuk lagu-lagu dalam bacaan tartil Al-Qur’an dan nyanyian Qasidah saja.Lagu jenis ini jarang sekali (dan bahkan hampir tidak pernah sama sekali) dipakai dalam bacaan tilawah Al-Qur’an. Kemungkinan besar karena lagu tersebut kurang begitu cocok diterapkan dalam tilawah.

Republika Online

Loading

Artikel