Cyber Pesantren | Setiap tahun, umat Islam di seluruh dunia menyambut Idul Fitri dengan penuh suka cita. Suara takbir berkumandang, keluarga berkumpul, makanan khas Lebaran tersaji di meja, dan tradisi seperti mudik serta berbagi THR menjadi bagian dari perayaan.
Namun, di balik semua euforia ini, ada satu pertanyaan mendalam yang perlu kita renungkan: Apakah kita benar-benar kembali fitri?
Euforia Lebaran: Antara Tradisi dan Kebahagiaan Sesaat
Lebaran identik dengan kegembiraan. Setelah sebulan penuh menahan lapar, haus, dan hawa nafsu, Idul Fitri menjadi momen pembebasan. Masyarakat merayakannya dengan berbagai tradisi seperti:
-
Mudik – Kembali ke kampung halaman untuk bersilaturahmi dengan keluarga besar.
-
Baju Baru – Sebagai simbol awal yang bersih dan segar setelah Ramadhan.
-
Makan Besar – Hidangan khas seperti ketupat, opor ayam, dan rendang menjadi simbol kemakmuran.
-
THR dan Angpau – Tradisi berbagi rezeki yang mempererat hubungan sosial.
Namun, sering kali kita terlalu fokus pada aspek seremonial ini hingga melupakan makna sejati Idul Fitri. Tidak sedikit orang yang justru terjebak dalam budaya konsumtif, gengsi sosial, atau bahkan kembali pada kebiasaan lama setelah Ramadhan berlalu.
Esensi Idul Fitri: Makna Kembali ke Fitrah
Idul Fitri bukan hanya tentang perayaan, tetapi juga tentang kesucian diri. Kata fitri sendiri bermakna kembali kepada keadaan yang bersih, suci, seperti bayi yang baru lahir. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Barang siapa yang berpuasa di bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahala dari Allah, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Artinya, Idul Fitri bukan sekadar selebrasi, tetapi momen evaluasi:
✔ Apakah setelah Ramadhan kita lebih mendekat kepada Allah?
✔ Apakah kita tetap menjaga ibadah seperti shalat, tilawah, dan sedekah?
✔ Apakah kita telah memaafkan dan meminta maaf dengan tulus?
✔ Apakah akhlak kita membaik atau kembali seperti sebelum Ramadhan?
Jika setelah Ramadhan kita masih bermalas-malasan dalam ibadah, kembali pada kebiasaan buruk, atau lebih sibuk dengan urusan dunia dibanding akhirat, maka bisa jadi kita hanya merasakan euforia Lebaran tanpa memahami esensinya.
Bagaimana Menjaga Spiritualitas Pasca Ramadhan?
Agar benar-benar kembali fitri, kita harus menjaga semangat Ramadhan sepanjang tahun. Beberapa cara yang bisa dilakukan adalah:
-
Melanjutkan Kebiasaan Baik – Seperti tetap menjaga shalat berjamaah, tilawah, dan sedekah.
-
Puasa Sunnah – Seperti puasa Syawal, Senin-Kamis, dan Ayyamul Bidh agar ruhiyah tetap terjaga.
-
Menjaga Silaturahmi – Tidak hanya saat Lebaran, tetapi terus berusaha mempererat hubungan baik dengan keluarga dan sesama.
-
Bersikap Zuhud – Tidak berlebihan dalam materi, tetapi lebih fokus pada keberkahan dan ketakwaan.
Apakah Kita Sudah Kembali Fitri?
Euforia Lebaran memang membawa kebahagiaan, tetapi tidak boleh melupakan esensinya. Jika Idul Fitri hanya dirayakan sebagai tradisi tahunan tanpa perubahan diri, maka kita belum benar-benar kembali fitri.
Namun, jika setelah Ramadhan kita menjadi pribadi yang lebih baik, lebih dekat kepada Allah, dan lebih bermanfaat bagi sesama, maka itulah makna sejati Idul Fitri.
Mari renungkan, apakah kita merayakan Lebaran hanya untuk euforianya, atau benar-benar memahami makna kembali fitri? Semoga Idul Fitri kali ini membawa keberkahan dan perubahan nyata dalam hidup kita. Taqabbalallahu minna wa minkum, mohon maaf lahir dan batin.
1 Komentar